Perintah Mengerjakan Puasa
Ilustrasi Ramadan. (Pixabay)
Demikianlah dari ayat 183
sampai ayat 187 surat Al Baqarah Allah mewajibkan kepada orang yang beriman,
supaya melakukan puasa di bulan Ramadan. Perintah itu ditetapkan Allah SWT
sejak Nabi Muhammad S.A.W hijrah, yaitu setelah ajaran tauhid terhunjam dalam
jiwa dan salat telah memasyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Perintah puasa sebagai juga
perintah-perintah Allah yang lain, bukanlah suatu perintah yang kaku dan
kering, tidaklah dia serupa dengan peraturan dan undang-undang buatan manusia,
yang kuat atau lemahnya bergantung kepada kekuatan politik dan kekuasan dan
kewibawaan pemerintah atas rakyat. Bila hanya itu dasarnya, maka sebagai mana
undang-undang dan peraturan lain orang akan mencari seribu satu akal melepaskan
diri dari ikatannya.
Perintah mengerjakan puasa, yang
diturunkan langsung dari Allah dengan perantaraan Rasul-Nya, adalah mengetuk
hati iman dan akidah. Menyentuh akal dan perasaan, jiwa dan sanubari; semuanya
itu sekaligus!
Oleh karena yang terpanggil itu
ialah hati yang telah merasakan enak manisnya iman,
maka tidaklah dia diterima dengan rasa yang berat, sebagaimana beratnya orang
membayar pajak. Bahkan dia disambut gembira, dielu-elukan, ditunggu
kedatangannya dengan bersemangat. Apalagi melihat susunan ayat dari perintah
yang turun, memang terbukti datangnya dari Allah, penuh dengan hikmat dan
da’wah,hukum yang bijaksana dan
ilmu jiwa yang sempurna. Sehingga sehabis ayat dibaca, terasa penyerahan diri
dan keyakinan bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah, tak lain untuk
kemuslihatan yang diperintah belaka.
Mula-mula sekali Allah memanggil “Ya
ayyuhal ladzina amanu” Wahai orang-orang yang telah mengakui iman pada
Alah. Mendengar seruan ini, orang yang merasa bahwa dalam dirinya iman itu
memang ada, langsung tersentak dan tersadar: “Bertitahlah Tuhanku, segala
titah hamba junjung.”
Abdullah bin Mas’ud salah seorang
sahabat Nabi S.A.W yang utama dalam hal tafsir Al Quran mengatakan, bahwa bila
kami mendengar satu ayat yang dimulai dengan seruan kepada orang beriman itu,
kami terkembang menunggu tugas yang akan dipikulkan ke atas pundak kami.
Oleh sebab itu maka seruan kepada
orang yang beriman adalah suatu seruan terhormat. Seruan yang menimbulkan harga
diri! Sebagai akibat dari padanya, timbullah keyakinan bahwa perintah itu tidak
akan berat. Karena hubungan yang paling tinggi diantara seorang mu’min dengan
Tuhannya ialah hubungan rida, dan kecintaan. Sehingga tiada sesuatupun yang
terasa sulit dan berat. Tuhanpun telah mengatakan bahwa tidak akan memikulkan
kepada hamba-Nya suatu perintah kecuali yang sanggup si hamba menjalankannya:
La yukalliful Lahu
nafsan illa wus’aha
Siapa yang beriman kepada Allah
sebagai Tuhan, sebagai Ilah, sebagai Rabbun, pasti dia menyerah sebulatnya,
patuh dengan segenap hati dan anggota tubuh lain. Dan dari dalam lubuk jiwa
keluarlah ucapan: “Sami’na waatha’na”. Kami dengar perintah itu dan kami
jalankan.
Sehabis dialog pertama dari Allah
Yang Maha Kuasa kepada hambaNya yang beriman dan hamba itu menurut dengan
patuh, diiringi lagi dengan penjelasan bahwa perintah ini bukanlah perintah
yang baru tumbuh sekarang. Malahan umat terdahulu pun mendapat perintah puasa
ini juga. Jadi walaupun si Mu’min telah menyerah tunduk, patuh melakukan, namun
Allah masih membuat agar perintah ini ringan diterima. Perintah yang sekarang ini
hanya lanjutan dari perintah -perintah kepada umat-umat yang terdahulu saja.
Kemudian pada ujung ayat diterangkan
pulalah maksud yang sebenarnya, atau tujuan yang mendasar dari perintah ini,
yaitu untuk membuat si Mu’min menjadi takwa. Artinya agar bertambah rapat
hubungan dengan Penciptamu, terpelihara hubungan baik itu jangan sampai putus,
agar hidupmu sendiripun selamat dan terpelihara.